BAB 1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Sebagai
masyarakat Indonesia, kita harus mengetahui berbagai macam kebudayaan yang ada
di negara kita. Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, dengan mengenal
dan mengetahui hal itu, masyarakat Indonesia akan lebih mengerti kepribadian
suku lain, sehingga tidak menimbulkan perpecahan maupun perseteruan.
Pengetahuan tentang kebudayaan itu juga akan memperkuat rasa nasionalisme kita
sebagai warga negara Indonesia yang baik.
Selain
hal-hal di atas, kita juga dapat mengetahui berbagai ke
budaya di Indonesia yang mengalami akulturasi. Karena proses akulturasi yang terjadi tampak simpang siur dan setengah-setengah. Contoh, perubahan gaya hidup pada masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan yang seolah-olah sedikit demi sedikit mulai mengikis budaya dan adat ketimurannya. Namun, masih ada beberapa masyarakat yang masih sangat kolot dan hampir tidak mempedulikan perkembangan dan kemajuan dunia luar dan mereka tetap menjaga kebudayaan asli mereka.
budaya di Indonesia yang mengalami akulturasi. Karena proses akulturasi yang terjadi tampak simpang siur dan setengah-setengah. Contoh, perubahan gaya hidup pada masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan yang seolah-olah sedikit demi sedikit mulai mengikis budaya dan adat ketimurannya. Namun, masih ada beberapa masyarakat yang masih sangat kolot dan hampir tidak mempedulikan perkembangan dan kemajuan dunia luar dan mereka tetap menjaga kebudayaan asli mereka.
Karena latar
belakang di atas kita menyusun makalah tentang salah satu kebudayaan masyarakat
Indonesia, yaitu masyarakat Minangkabau. Makalah ini akan memberikan wawasan
tentang masyarakat Minangkabau yang memiliki keragaman suku dan budaya.
BAB
II
ISI
Masyarakat Minangkabau
Masyarakat
Masyarakat Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik
Nusantara
yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau.
Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat,
separuh daratan Riau, bagian
utara Bengkulu, bagian
barat Jambi, bagian
selatan Sumatera
Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Budayanya sangat kuat diwarnai
ajaran agama Islam.
Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi
Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an)
yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol
dibidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan
pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu
dan Sriwijaya
yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota
suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di
kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung,
Pekanbaru,
Medan,
Batam,
Palembang,
dan Surabaya.
Di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia dan Singapura.
Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua
kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan
suatu legenda
khas Minang yang dikenal didalam tambo. Nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan
'Manang kabau' (artinya menang kerbau). Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit,
Nagarakretagama bertarikh 1365
M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari
negeri Melayu
yang ditaklukannya. Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera
sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu.
Adat dan budaya
Dalam masyarakat Minangkabau, ada
tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat.
Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan
istilah Tali nan Tigo Sapilin.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya.
Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan
masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
1). Pasambahan
Adat Minang sarat dengan formalitas dan
interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara puncaknya tidak sah,
tidak valid, jika belum
disampaikan dengan bahasa formal yang disebut pasambahan.
Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu
acara, hingga yang berat seperti pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu dilaksanakan dengan
sambah-manyambah.
Sambah-manyambah di sini tidak
ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah
penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud
adalah pasambahan kato. Artinya
pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab
dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa
Minang tertentu, yang mempunyai format baku.
Format bahasa pasambahan
ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula
dengan pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan
penggunaan kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format
yang standar bagi seluruh Minangkabau.
Terkait
dengan pasambahan, adat Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan,
pihak-pihak yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai
tuan rumah, sebagai tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima
permohonan.
2). Sirih dan pinang
Sirih dan pinang adalah lambang
formalitas dalam
interaski masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai dengan
menghadirkan sirih dan kelengkapannya
seperti buah pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin.
Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.
Makna sirih adalah secara
simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu
pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai
simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam
pepatah adat disebutkan, siriah nan
diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara
adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan
kato. Sirih dan
pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik
pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai.
3). Baso-basi
Satu lagi unsur adat Minang yang
penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan
menjaga baso-basi mengharuskan setiap individu agar berhubungan dengan orang
lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya
secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri.
Baso-basi diimplementasikan
dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi
berfungsi menjaga forms, yaitu
hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang
diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat
sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
B.
Kesenian
Suku Minangkabau memiliki
berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan
dalam pesta adat maupun perkawinan.
·
Tari
pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat
datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai,
selanjutnya
·
Tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang
piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang
dimainkan oleh talempong dan saluang.
·
Silek atau Silat Minangkabau
merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang
sejak lama.
·
Tari
Payung merupakan tari tradisi Minangkabau yang saat ini telah banyak perubahan
dan dikembangkan oleh senian-seniman tari terutama di Sumatra Barat. Awalnya
tari ini memiliki makna tentang kegembiraan muda mudi (penciptaan) yang
memperlihatkan bagaimana perhatian seorang laki-laki terhadap kekasihnya.
Payung menjadi icon bahwa keduanya menuju satu tujuan yaitu membina rumah
tangga yang baik. Keberagaman Tari Payung tidak membunuh tari payung yang ada
sebagai alat ungkap budaya Minangkabau.
·
Randai, tarian yang bercampur dengan silek. Randai biasa diiringi dengan
nyanyian atau disebut juga dengan sijobang,
dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga
menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan
salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata
sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme, contohnya Dima
tumbuah, sinan disiang
– Cara memecahkan suatu masalah dengan langsung ke akar atau penyebab masalah
itu sendiri. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan
kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
B. Rumah adat
Rumah adat suku Minangkabau
disebut dengan Rumah Gadang,
yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku
tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi
panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu,
dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas,
menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti
dengan atap seng.
Namun hanya kaum perempuan dan
suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan
laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika
laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh
dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah,
juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
C.Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan
merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan. Dalam prosesi perkawinan adat
Minangkabau, biasa disebut baralek,
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput
pengantin pria), sampai basandiang
(bersanding di pelaminan). Setelah maminang
dan muncul kesepakatan manantuan hari
(menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan
secara Islam
yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin
bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu
atau tuan kadi, mempelai pria
akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian
masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo
atau sidi di kawasan pesisir
pantai. Sedangkan di kawasan luhak
limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
Sosial kemasyarakatan
A. Persukuan
Suku merupakan basis dari
organisasi sosial dan sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental.
Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang
sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang
sama. Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit
ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan
sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka.
Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga.
Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi.
Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota
kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami
kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam
beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada
sebuah rumah gadang secara bersama-sama
b. Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas
banyak nagari.
Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak
ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat
di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat
yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin
suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan
mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk
nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan
dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar
nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh
karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise
kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan
anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam
pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah
yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi
Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi
dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur
terendah disebut dengan Taratak,
kemudian berkembang menjadi Dusun,
kemudian berkembang menjadi Koto
dan kemudian berkembang menjadi Nagari.
Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang
mendomisili kawasan tersebut.
c. Kerajaan
Dalam laporan de Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda,
dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu
kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah
nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti
yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat
setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat
dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatra dan bahkan sampai semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di
wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Minangkabau Perantauan
Minangkabau perantauan merupakan
istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat,
Indonesia.
Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar.
Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan
meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang
telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir
semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam
mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin
dan penuntut ilmu agama. Merantau
bagi orang
minang adalah budaya, tapi bukan berarti mereka lupa untuk membangun kampung
halamannya sendiri.
Para
perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai
pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau,
merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan
kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan
yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah
lingkungan adat.
Dari pencarian
yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung
halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan
memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput
sawah-sawah yang tergadai. Uang
dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana
nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah. Etos merantau orang
Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia.
Sebab Merantau
Ø Faktor Budaya
Ada banyak penjelasan terhadap
fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal.
Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan
sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa
akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena
rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke
kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada
anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat
berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang
tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh
teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk
merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena
alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan
melanjutkan pendidikan.
Ø Faktor Ekonomi
Penjelasan lain adalah
pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam
yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama
tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam
yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk
memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga.
Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan
dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang
pergi merantau mengadu nasib di negeri orang.
Faktor Perang
Beberapa
peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau
terutama dari daerah konflik, setelah perang Padri,
muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul
pemberontakan Siti
Manggopoh dan pemberontakan komunis tahun 1926-1927. Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya
eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik
Nusantara
yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau.
Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan
intelektual. Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau.
Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda
khas Minang yang dikenal didalam tambo. Dalam masyarakat Minangkabau, ada
tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat.
Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan
istilah Tali nan Tigo Sapilin
Saran
Kita
sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki berbagai macam kebudayaan harus
bangga terhadap kebudayaan kita sendiri,dan sebaiknya untuk masyarakat
Indonesia ikut melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia terutama untuk
para pemuda yang sudah terkontaminasi dengan kebudayaan barat.Untuk yang sudah
tua pun sebaiknya ikut mengajarkan para pemuda tentang kebudayaan Indonesia
agar kebudayaan Indonesia tidak direbut oleh Negara lain ataupun hilang karena
tidak ada yang dapat meneruskannya.Perlu adanya pendirian sanggar untuk
pembelajaran mengenai kebudayaan Indonesia agar pemuda Indonesia dapat belajar
kebudayaan di sanggar tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Josselin
de Jong, P.E. de, (1960), Minangkabau
and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia, Jakarta:
Bhartara
Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam
perspektif sejarah. PT Balai Pustaka.
Purbatjaraka,
R.M. Ngabehi, (1952), Riwajat
Indonesia, I, Djakarta: Jajasan Pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.