Kata Pengantar
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu
wata’ala, karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul Kebudayaan Tana Toraja .
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………………I
·
Latar
belakang
·
Rumusan
Masalah
·
Tujuan
BAB II Isi…………………………………………………………………………II
·
Identitas
Etnis…………………………………………………………….A
·
Wilayah…………………………………………………………………..B
·
Sejarah……………………………………………………………………C
·
Masyarakat……………………………………………………………….D
·
Kebudayaan………………………………………………………………E
·
Ekonomi……………………………………………………………….…F
BAB III Penutup
……………………………………………………………….III
·
Kesimpulan
·
Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kebudayaan
tradisional adalah salah satu aset nasional yang sangat besar artinya dan perlu
dilestarikan karena mempunyai nilai budaya yang tinggi. Disamping itu, dapat
menjadi masukan dan memberi wawasan yang lebih luas kepada masyarakat.
Salah
satu diantara kebudayaan tradisional yang ada di Indonesia adalah Kebudayaan
tradisional adat Toraja. Kebudayaan tradisional adat Toraja ini meliputi segala
aspek yang berhubungan dengan masyarakat, ukiran kayu, rumah adat, upacara
pemakaman, musik/tarian, agama, bahasa, dan ekonomi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1.
Bagaimana gambaran umum kebudayaan dilihat dari segi geografi, demografi, dan
sosial ekonomi?
2.
Bagaimana sejarah kebudayaan masyarakat Toraja?
3.
Bagaimana karakteristik kebudayaan dilihat dari sistem kekerabatan dan sistem
perkampungan atau organisasi?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1.Mengidentifikasi
gambaran umum tentang kebudayaan Tana Toraja.
2.Mengkaji perkembangan sejarah kebudayaan suku bangsa Tana Toraja.
3.Mengkaji sistem kekerabatan, sistem perkampungan/ organisasi sosial.
2.Mengkaji perkembangan sejarah kebudayaan suku bangsa Tana Toraja.
3.Mengkaji sistem kekerabatan, sistem perkampungan/ organisasi sosial.
BAB II
ISI
A. Identitas Etnis
Suku
Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan
Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To
Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari
Agama Hindu Dharma.
Kata
Toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang
berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini
Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat
tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa
sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung
selama beberapa hari.
Sebelum
abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut
animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an,
misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin
terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi
lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang
pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun
1990-an mengalami transformasi budaya dari masyarakat berkepercayaan
tradisional dan agraris menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan
mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Suku
Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai
sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa
pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi dikenali
berdasarkan desa mereka dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama.
Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan diantara desa-desa ada banyak
keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan
dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang
berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai
sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada
awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan
orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar yang menghuni sebagian besar
dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi.
Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran
etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja dan identitas bersama ini tumbuh dengan
bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki
empat kelompok etnis utama, yaitu suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat
kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang
dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
B. Wilayah
Kabupaten
Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada di propinsi
Sulawesi Selatan yang terletak diantara 2º20´sampai 3º30´ Lintang Selatan dan
119º30´ sampai 120º10´ Bujur Timur. "Ibukota" Tator yakni kota kecil
Rantepao adalah kota yang dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai terbesar
di Sulsel yakni sungai Sa'dan, sungai inilah yang memberikan tenaga pembangkit
listrik untuk menyalakan seluruh Makasar. Secara Sosio linguistik, bahasa
Toraja disebut bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa lain seperti Adriani
dan Kruyt menyebutnya sebagai bahasa Sa'dan. Bahasa ini terdiri dari beberapa
dialek , seperti dialek Tallulembangna (Makale), dialek Kesu (Rantepao), dialek
Mappapana (Toraja Barat).
Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah :
-
Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa
-
Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
-
Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
- Sebelah Barat : Kabupaten
Polmas
Luas
wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km² atau sekitar 5% dari luas
propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan. Jumlah
penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa
laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126
jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 2,68% pertahun.
C. Sejarah
Tator
aslinya mempunyai nama tua yang dikatakan dalam literatur kuna mereka sebagai
"Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo"nyang berarti negeri dengan
pemerintahan dan masyarakat berketuhanan yang bersatu utuh bulat seperti
bulatnya matahari dan bulan. Agama asli nenek moyang mereka adalah Aluk Todolo
yang berasal dari sumber Negeri Marinding Banua Puan yang dikenal dengan
sebutan Aluk Pitung Sa'bu Pitung Pulo. Ketika Belanda masuk, agama Aluk Todolo
tergeser oleh missionaris Kristen yang menyebarkan agama diwilayah ini. Namun
adat istiadat yang berakar pada konsep Aluk Todolo hingga kini masih
dijalankan. Kita masih akan menikmati pertunjukan upacara kematian masyarakat
tator sebagai pengaruh kuat dari agama nenek moyang mereka.
Menurut
data sejarah, penduduk yang pertama-tama menduduki/mendiami daerah Toraja pada
zaman purba adalah penduduk yang bergerak dari arah Selatan dengan perahu.
Mereka datang dalam bentuk kelompok yang dinamai Arroan (kelompok manusia).
Setiap Arroan dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamai Ambe' Arroan (Ambe' =
bapak, Arroan = kelompok). Setelah itu datang penguasa baru yang dikenal dalam
sejarah Toraja dengan nama Puang Lembang yang artinya pemilik perahu, karena
mereka datang dengan mempergunakan perahu menyusuri sungai-sungai besar. Pada
waktu perahu mereka sudah tidak dapat diteruskan karena derasnya air sungai dan
bebatuan, maka mereka membongkar perahunya untuk dijadikan tempat tinggal
sementara. Tempat mereka menambatkan perahunya dan membuat rumah pertama kali
dinamai Bamba Puang artinya pangkalan pusat pemilik perahu sampai sekarang.
Hingga kini kita akan melihat disekitar Ranteapo terdapat beberapa Bamba Puang
milik keluarga-keluarga paling berpengaruh dan terkaya disitu yang mendirikan
Tongkonan (rumah adat Tator) beserta belasan lumbung padinya. Setiap Tongkonan
satu keluarga besar dihiasi oleh puluhan tanduk kerbau yg dipakai untuk
menjelaskan status sosial dalam strata masyarakat adat. Tongkonan itulah yang
menjadi atraksi budaya dan menjadi obyek foto ratusan turis yang mendatangi
tator.
D.
Masyarakat
Keluarga
Keluarga
adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah
suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai
nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu
jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat
hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat
(sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah
penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian
bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual
kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Kelas
Sosial
Dalam
masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial.
Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial
diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas
yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang
lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya.
Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan
hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum
bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi
para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan
kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa
gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak
dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang
Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi
budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan.
Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi
status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari
piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan
merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
E.
Kebudayaan
Tongkonan
Rumah
Adat Toraja disebut Tongkonan. Tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon
“duduk“, tempat “an” bisa dikatakan tempat duduk tetapi bukan tempat duduk arti
yang sebenarnya melainkan tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah,
dan menyelesaikan masalah-masalah adat. Hampir semua rumah orang Toraja
menghadap ke arah utara, menghadap ke arah Puang Matua sebutan orang toraja
bagi Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu untuk menghormati leluhur mereka dan
dipercaya akan mendapatkan keberkahan di dunia ini. Daerah Tana Toraja umumnya
merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam dengan ladang dan hutan yang
masih luas, dilembahnya terdapat hamparan persawahan. Tongkonan sendiri
bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan
lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti
bentuk praktis dari material kayu. Material kayu dari kayu uru, sejenis kayu
lokal yang berasal dari Sulawesi. Kualitas kayunya cukup baik dan banyak
ditemui di hutan-hutan di daerah Toraja. Kayu di biarkan asli tanpa di pelitur
atau pernis.
Rumah
Toraja / Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian yang pertama kolong (Sulluk
Banua), kedua ruangan rumah (Kale Banua) dan ketiga atap (Ratiang Banua). Pada
bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur
bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran
angin. Memiliki latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut
falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja itu
sendiri.
Dalam
pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di
haruskan dan tidak boleh di langgar, yaitu Rumah harus menghadap ke utara,
letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan
satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
- Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja).
- Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
- Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
- Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka.
Pembangunan
rumah tradisional Toraja biasanya dilakukan secara gotong royong. Rumah Adat
Toraja di bedakan menjadi 4 macam:
- Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.
- Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
- Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.
- Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa turunan (diwariskan), kemudian disebut Tongkonan Batu A’riri.
Bangsawan
Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang
biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk
kerbau yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan
tanduk kerbau tersebut semakin menukjukkan tinggi dan penting status sosial si
pemilik rumah.
Kenapa
harus tanduk Kerbau? bagi orang Toraja, kerbau selain sebagai hewan ternak
mereka juga menjadi lambang kemakmuran dan status. Oleh sebab itu tanduk atau
tengkorak kepala kerbau di pajang dan disimpan di bagian rumah karena sebagai
tanda bawasannya keberhasilan si pemilik rumah mengadakan sebuah upacara / pesta.
Ukiran
Kayu
Melihat
Rumah Adat Tongkonan Toraja, yang sangat menarik adalah variasi gambar dan
simbol yang diukir menghiasi semua bagiannya. Ukiran-ukiran tersebut untuk
menunjukkan konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Pa’ssura
(Penyampaian). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Pola yang terukir memiliki makna dengan presentase simbol tertentu dari pemilik
atau rumpun keluarga yang punya nilai magis. Ukiran-ukiran Toraja itu diyakini
memiliki kekuatan alam atau supranatural tertentu.
Diperkirakan,
tidak kurang dari 67 jenis ukiran dengan aneka corak dan makna. Warna-warna
yang dominan adalah merah, kunig, putih dan hitam. Semua sumber warna berasal
dari tanah liat yang disebut Litak kecuali warna hitam yang berasal dari jelaga
atau bagian dalam pisang muda. Pencipta awal mula ukiran-ukiran magis ini
diyakini dari Ne’ Limbongan yang mana simbolnya adalah berupa lingkaran
berbatas bujur sangkar bermakna mata angin.
Setiap
pola ukiran abstrak punya nama dan kisah antara lain motif “empat lingkaran
yang ada dalam bujur sangkar” biasanya ada di pucuk rumah yang melambangkan
kebesaran dan keagungan. Makna yang terkandung dalam simbol-simbol itu antara
lain simbol kebesaran bangsawan ( motif paku), simbol persatuan (motif lingkaran
2 angka delapan), simbol penyimpanan harta ( motif empat lingkaran berpotongan
dan bersimpul) dll. Selain motif-motif abstrak itu, beragam pula pola-pola yang
realistis mengikuti bentuk binatang tertentu antara lain burung bangau (motif
Korong), motif bebek ( Kotte), Anjing ( motif Asu), Kerbau ( Tedong), Babi (
Bai) dan ayam ( Pa’manuk Londong).
Setiap
ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti
kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. lambangkan kerbau atau
kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel
tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan
keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang
tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja
keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan
adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang
baik.
Keteraturan
dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran
kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar
ukiran dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri
yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya
berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk
membuat jelas ornamen geometris tersebut.
Upacara
Pemakaman
Di
Tana Toraja tradisi menghormati kematian dikenal dengan upacara Rambu Solo'.
Persamaan dari ketiganya: ritual upacara kematian dan penguburan jezah. Di
Tana Toraja sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu
Tuka. Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah
upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai
direnovasi.
Rambu
Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan
waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada
siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu
2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya
sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena
menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu,
sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja,
semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula
rohnya sampai ke nirwana.
Upacara
ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila
bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk
keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan.
Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100
ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor
kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.
Tapi,
sebelum jumlah itu mencukupi jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di
tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di
Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah
dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam
kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak
keluarganya siap untuk melaksanakan upacara ini.
Bagi
masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo'
maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit karena statusnya
masih 'sakit' maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan
diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan
makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh
arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.
Jenazah
dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu
tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau
sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara
penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali
tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang
diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan
dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah
berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan
harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas
lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di
tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Seluruh
prosesi acara Rambu Solo' selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar
pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan
barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan
barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).
Jenazah
diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba
terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan
keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para
wanita dalam keluarga itu).
Prosesi
pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah
kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda
tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita
yang menarik lamba-lamba.
Dalam
pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama
kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan
tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di
belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba
dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah
tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi
berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari
bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai
tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara
berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap
di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan
jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien
(menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu
merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di
rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat
Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di
rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah
jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu
sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah
prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga
dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma'pasilaga tedong
(adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu
Solo', adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.
Selama
beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara
berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada
di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore
harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari
oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang
dikuburkan di tebing maupun yang di patane' (kuburan dari kayu berbentuk rumah
adat).
Musik
dan Tarian
Suku
Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakama. Pada hari kedua pemakaman, tarian
prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa
hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari
kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian
Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju
rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa
melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.
Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan
kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak
lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut
Ma'dondan.
Seperti
di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim
panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada
beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan
kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur
kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya
bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting
ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon
suci.
Alat
musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling
berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian
Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari
dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat
musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada
waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
E.
Bahasa
Bahasa
Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja dengan Sa'dan Toraja sebagai
dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah
bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam
bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan
Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa
Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh
oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa
Toraja.
F. Ekonomi
Sebelum
masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya
terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah
singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk
berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara
pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja
adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan
dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan
membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan
Multinasionalmembuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya
generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka
pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke
kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi
Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984.
Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan
bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya
ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk
berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun
secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia.
Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian
Suku Tana Toraja Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti
"orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda
menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ada juga versi lain bahwa
kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya
orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja,
dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian
dengan Tana Toraja.Sejarah Suku Tana Toraja dulu ada yang mengira bahwa Teluk
Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku
Toraja. Sebenarnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa
Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Saran
Sebagai penduduk Indonesia
seharusnya kita menjaga semua kebudayaan yang ada di Indonesia seperti
contohnya kebudayaan yang ada di Tana Toraja . Setiap Pulau di Indonesia
memiliki kebudayaan yang berbeda beda dan memiliki keistimewaan yang berbeda
pula yang wajib kita jaga agar terus dapat dikenal oleh generasi generasi
penerus bangsa dan tidak di ambil alih oleh negara lain.Selain menjaga kebudayaan
yang ada di Indonesia seharusnya kita juga ikut melestarikan dan ikut
mengembangkan kebudayaan Indonesia agar lebih dikenal oleh banyak orang seperti
orang dari Negara lain dan terutama
masyarakat dari Negara sendiri.Dan akan sayang sekali jika anak anak muda
sekarang lebih mengenal dan menerapkan kebudayaan Negara asing saja,tanpa
menerapkan bahkan mengetahui kebudayaan Negara Indonesia.Sebaiknya jika kita
diperkenalkan dengan kebudayaan Negara Asing kita harus bisa memilih mana
kebudayaan yang baik dan patut di contoh dan mana kebudayaan yang tidak perlu
untuk diikuti dan di contoh seperti cara berpakaian yang sudah mengikuti Negara
Asing.Agar anak anak bangsa bisa lebih mengenal kebudayaan bangsaIndonesia bisa
di lakukan dengan mengenalkan kebudayaan kebudayaannya seperti tarian,music dan
berbagai kebdayan lainnya dengan cara mengadakan acara seperti karnaval
kebudayaan,mendirikan sanggar tari yang mengajarkan tarian daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.